Wali Songo : Nama Asli Sunan dan Sejarah Para Wali
Apa itu Sunan? Apa itu Wali? Gelar atau julukan Sunan bukanlah hal yang asing ditelinga masyarakat Jawa, gelar yang disegani dan dihormati oleh banyak orang. Wali songo adalah penyebar agama islam di tanah Jawa. Mereka menyebarkan agama melalui jalur budaya di seluruh tanah Jawa. Simbol kebudayaan lokal seperti wayang dan gamelan, dipakai sebagai media dakwah.
Wali Songo
Dalam budaya suku-suku di Pulau Jawa, Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Arti Wali songo adalah sembilan wali, diantaranya adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kali jaga, dan Sunan Muria.
Berikut ini adalah sejarah singkat mengenai sejarah perjuangan dakwah para Wali :
1. Sunan Gresik
Sunan Gresik memiliki nama asli Maulana Malik Ibrahim, beliau hidup pada masa kejayaan kerajaan Majapahit. Sunan Gresik menginjakkan kaki di Gresik pada tahun 1404 M, dimana saat itu sudah bisa ditemukan kelompok-kelompok kecil penganut agama Islam disepanjang pesisir pantai Pulau Jawa.
Agama Islam mulai berkembang pesar Gresik semenjak Sunan Gresik berdakwah di sana. Memang sebelumnya agama Islam sudah ada di pulau jawa, dan diketahui ada sebuah kerajaan di Jepara, yang dipimpin oleh orang yang bernama Ratu Sima, yang sejak awal sudah memeluk agama Islam.
Maulana Malik Ibrahim juga dikenal dengan beberapa nama, salah satunya adalah Maulana Maghribi, disebut demikian karena beliau berasal dari daerah Maghribi, Afrika Utara. Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa bersama Raja Cermin dan keluarganya, dan raja Cermin adalah Raja Hindustan.
Ada riwayat ada yang meyebutkan bahwa Sunan Gresik datang dari Turki sebagai utusan dakwah Khalifah Turki Utsmaniyah, beliau juga melakukan pengembaraan di Gujarat. Sunan Gresik juga dikenal sebagai Si Kakek Bantal, penolong orang fakir, orang miskin dan dikenal sebagai ahli tata negara, pertanian dan pengobatan.
Banyaknya gelar yang diberikan kepada dirinya menunjukkan betapa besar pengaruh dan perjuangan beliau untuk masyarakat Jawa. Sifat lemah lembut dan welas asih adalah ciri khasnya, dan beliau dikenal sangat ramah kepada semua orang, baik orang beragama Islam, Hindu maupun Buddha. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M, dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Mohammad Ali Rahmatullah (Raden Rahmat), lahir di Champa, Kamboja sekitar 1401, dan beliau menyebarkan agama Islam di wilayah Surabaya, Jawa Timur. Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim atau yang dikenal Sunan Gresik. Sunan Ampel dikenal dengan metode dakwahnya Moh Limo, antara lain :
- Moh Main, artinya tidak mau berjudi,
- Moh Ngombe, artinya tidak mau mabuk,
- Moh Maling, artinya tidak mau mencur,
- Moh Madat, artinya tidak mau menghisap candu, dan
- Moh Madon, artinya tidak mau berzina.
Sunan Ampel adalah salah satu pencetus Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dan membantu membangun Masjis Agung Demak.
Sunan Ampel adalah keponakan dari Raja Majapahit yang dipimpin oleh Raja Brawijaya.
Kakak sulung dari ibunya Sunan Ampel bernama Dewi Sasmitraputri yang merupakan permaisuri Prabu Kertawijaya atau Brawijaya. Pada 1443, bersama saudara tuanya bernama Ali Musada (Ali Murtadho) dan sepupunya Raden Burereh datang ke Jawa dan menetap di Tuban. Setelah menetap di Tuban, ia berangkat menuju Kerajaan Majapahit untuk menemui bibinya Dewi Sasmitraputri.
Sunan Ampel berdakwah menyebarkan agama Islam di wilayah Kerajaan Majapahit yang sedang dalam masa-masa suram. Karena para adipati dan pembesar kerajaan melupakan tugasnya sebagai seorang pemimpin, dan lebih menyukai pesta dan hidup dengan kemewahan.
Inilah yang membuat Prabu Brawijaya memerintahkan Sunan Ampel untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Kerajaan Majapahit. Sunan Ampel meneruskan dakwahnya hingga beliau wafat pada tahun 1481 M.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Makdum atau Maulana Makdum Ibrahim, lahir di Ampel, Surabaya pada tahun 1465. Sunan Bonang adalah anak dari Sunan Ampel, yang selalu mendidiknya dengan disiplin dan ketat.
Saat dia hidup, Sunan Bonang menjadi penyokong Kerajaan Islam Demak, mulai dari ikut merancang keprajuritan, membuat aturan muamalah dan undang-undang yang berlaku disaat itu. Sunan Bonang juga lah yang memutuskan untuk pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.
Sunan Bonang mengandalkan banyak kitab dalam perjalanan syiarnya, misalnya Ihya Ulumudin dari Al Ghazali, Al Anthaki dari Dawud Al Anthaki, hingga tulisan-tulisan dari Abu Yazid Al Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati masyarakat awam, dan yang paling sering dia gunakan adalah seperangkat gamelan. Dalam bidang sastra budaya, sumbangan beliau meliputi dakwah melalui pewayangan dan ikut dalam pembangunan masjid Demak.
4. Sunan Drajat
Sunan Drajat memiliki nama asli Raden Kasim, dia adalah adik dari Sunan Bonang, atau anak dari Sunan Ampel dan Dewi Chandrawati. Empat pokok ajaran Sunan Drajat antara lain adalah :
- paring teken marang kang kalunyon lan wuta, artinya berikanlah tongkat kepada orang yang buta,
- paring pangan marang kang kaliren, artinya berikanlah makan pada orang yang kelaparan,
- paring sandhang marang kang kawudan, artinya berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang, dan
- paring payung marang kang kodanan, artinya berikanlah payung pada orang yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan kaumnya, dia kerap kali berjalan mengitari perkampungan pada malam hari, agar penduduk merasa aman dan terlindung dari gangguan makhluk halus yang konon meraja lela selama adanya setelah pembukaan hutan.
Sunan Drajat dikenal dengan kedermawanan dan kearifannya, dia mengajarkan agar tidak saling menyakiti, baik melaui perkataan atau perbuatan. Kalimatnya adalah “Bapang den simpangi, ana catur mungkur”, yang artinya, janganlah mendengarkan pembicaraan yang menjelek jelekkan orang lain dan hindarilah perbuatan yang dapat mencelakai orang lain.
Sunan Drajat mempernalkan ajaran Islam melalui sikap dan kelembutannya, yaitu dengan konsep dakwah bil hikmah atau secara bijak dan tanpa memaksa. Beberapa metode yang dipilih beliau untuk mengajarkan Islam adalah melalui pengajian di Masjid, melalui pendidikan di pesantren, dan melalui ritual adat tradisional yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
5. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga memiliki nama asli Raden Sahid, dan menjadi salah satu wali yang paling poluler di Jawa, bahkan dianggap sebagai guru agung tanah jawa. Raden Sahid adalah anak dari Tumenggung Wilwatika, Adipati Tuban dan ibunya bernama Dewi Nawangrum.
Sang Tumenggung adalah keturunan Ranggalawe yang sudah memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Raden Sahur. Raden Sahid sudah mempelajari agama Islam semenjak dia masih anak-anak, namun karena melihat kondisi lingkungan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, maka Raden Sahid akhirnya memberontak.
Dia melihat para bangsawan Tuban hidup dengan berfoya-foya, sementara ada banyak rakyat jelata yang hidupnya sangat sengsara. Para pemuka agama juga hanya diam dan tidak memberikan solusi apa-apa. Yang paling membuat dirinya gelisah adalah manakala pejabat kadipaten bertindak kasar dan semena-mena kepada rakyat kecil.
Walaupun dirinya adalah seorang Raden, tetapi Raden Sahid tidak segan bergaul dengan rakyat kecil. Karena tidak tahan melihat kondisi penderitaan kaum miskin pedesaan, akhirnya hampir setiap malam dia mengambil bahan makanan dari gudang kadipaten dan memberikannya kepada rakyat miskin.
Tetapi lama kelamaan perbuatannya diketahui oleh ayahnya, hingga dia diusir dari istana dan akhirnya pergi mengembara tanpa tujuan yang jelas. Beberapa lama setelah pengembaraan itu, Raden Sahid menetap di perbatasan kota Pati dan Kudus, tepatnya hutan Jatiwangi. Dia lagi-lagi mencuri dari orang kaya lalu hasilnya dibagikan kepada orang miskin.
Beliau tidak pernah mendirikan pesantren, sebab baginya seluruh dunia ini adalah pesantren. Sunan Kalijaga juga menggunakan ritual seperti semadi dan sesaji sebagai alat penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga juga memelopori ritual peringatan maulid Nabi Muhammad di Surakarta dan Yogyakarta, dengan upacara Sekaten, Grebeg Maulud, Grebeg Besar, dan Grebeg Syawal.
6. Sunan Kudus
Sunan Kudus memiliki nama asli Ja’far Shodiq, dengan ayah yang bernama Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan ibunda bernama Syarifah. Walaupun dirinya bergelar Sunan Kudus, tapi ternyata Sunan Kudus berasal dari Demak.
Kebiasaan unik Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang yang merupakan kegiatan menunggu bulan Ramadhan. Dia mengajak para jemaah datang ke Masjid dengan tabuhan bedug. Setelah jemaah berkumpul, Sunan akan berdakwah dan mengumumkan jadwal hari pertama puasa. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M, dan disemayamkan di kota Kudus.
7. Sunan Muria
Sunan Muria memiliki nama asli Raden Umar Muria, dia anak dari pasangan Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dan Dewi Sarah. Sunan Muria memiliki istri bernama Dewi Sujinah, yang adalah kakak dari Sunan Kudus. Dia disebut sebagai Sunan Muria sebab melakukan syiarnya di lingkungan Gunung Muria.
Sunan Muria berdakwah mengikuti cara Sunan Kalijaga, yaitu dengan menggunakan berbagai tradisi Jawa. Contohnya adat kenduri yang dilakukan pada hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dina dan nyewu, tidak di haramkan oleh Sunan Muria.
Tradisi yang dianggap berbau klenik, seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji di ganti dengan do’a dan sholawat. Sunan Muria lebih menyukai berdakwah di hadapan rakyat jelata dari pada kaum bangsawan. Dia berdakwah mulai dari lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juwana hingga pesisir utara.
8. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Sarif Hidayatullah, lahir dari pasangan Syarif Abdullah dan Rara Santang. Syarif Abdullah sendiri adalah seorang raja dari Mesir, sedangkan Rara Santang adalah putri dari Prabu Siliwangi. Syarif Abdullah meninggal dunia saat Syarif Hidayatullah masih berusia 21 tahun.
Lalu Syarif Hidayatullah diminta untuk menjadi penerus ayahnya sebagai Raja Mesir selanjutnya, namun dia menolah dan lebih memilih untuk berkunjung ke Jawa tempat di mana sang Ibu di lahirkan untuk berdakwah. Sunan Gunung Jati sudah berguru dengan ulama-ulama Mesir, sehingga dirinya tidak kaku lagi ketika berdakwah di tanah Jawa.
Dia dipercaya untuk meneruskan perguruan agama yang dibangun Syekh Datuk Kahfi, di Gunung jati. Dan itulah yang akhirnya membuat dirinya disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Dia menikah dengan Dewi Pakungwati, yaitu putri dari Pangeran Cakrabuwana. Setelah Pangeran lanjut usia, beliau menyerahkan tahta Caruban Larang kepada sang menantunya yaitu Sunan Gunung Jati.
9. Sunan Giri
Sunan Giri memiliki nama asli Raden Paku atau Joko Samudro. Dia adalah anak dari pasangan Maulana Ishak dan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembayu, Raja Blambangan. Sunan Giri dipanggil Joko Samudro karena sewaktu kecil dibuang ke laut, dia dibuang kelaut karena dianggap berbahaya bagi kondisi kerajaan kala itu. Ada dua versi yang menyebutkan alasan ini, pertama karena dianggap membawa wabah penyakit, dan kedua karena disingkirkan oleh patih kerajaan karena saat dewasa akan menjadi pewaris takhta.
Setelah lahirnya sang putra, ayahanda Dewi Sekardaru yaitu raja Blambangan memerintahkan agar bayi itu dimasukkan ke dalam peti lalu dibuang ke laut. raja memerintahkan hal tersebut karena adanya hasutan dari patihnya. Bayi tersebut kemudian di temukan oleh rombongan kapal pesiar.
Setelah peti tersebut diangkat dan dibuka, seluruh awak kapal tersebut sangat terkejut sebab ada seorang bayi di dalamnya. Bayi itu oleh awak kapal lalu diserahkan kepada majikan mereka yaitu, Nyai Ageng Pinatih yang adalah mantan istri dari Patih kerajaan Blambangan.
Bayi ini dirawat dan dijadikan anak oleh Nyai Ageng Pinatih, hingga saat berusia 12 tahun diserahkan kepada Sunan Ampel untuk dididik. Raden Paku juga membantu ibunya berdagang, namun setelah menikah, Raden Paku meninggalkan dunia perdagangan dan konsentrasi pada syiar Islam.
Dia bermunajat di sebuah goa di desa kembangan dan Kebomas, Kabupaten Gresik, dan teringat pesan ayahnya untuk mendirikan pesantren. Akhirnya Raden Paku menemukan tempat yang di acari untuk membangun pesantren, yaitu di sebuah daerah perbukitan, di Desa Sidomukti. Karena dekat dengan pegunungan maka pesantren tersebut dinamakan pesantren Giri, dan semenjak itulah raden Paku disebut sebagai Sunan Giri.
Selain sebagai pendakwah, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Dirinya pernah dipercayai untuk ikut menyusun peraturan ketata pajakan dan undang–undang kerajaan Demak. Perjuangan Sunan Giri sungguh luar biasa, sebab dia membimbing banyak sekali masyarakat Jawa Timur untuk mengenal Islam dengan cara yang baik.
Baca Juga : Bhinneka Tunggal Ika
Demikianlah sejarah singkat mengenai Wali Songo, semoga para pembaca dapat mengambil hikmah dan ilmu dari tulisan di atas, dan bisa menjadi teladan yang baik seperti kesembilan wali di atas. Semoga artikel ini juga bisa menginpirasi para pembaca.